Selasa, 18 April 2017

Hijrah Ke Samarinda



La Mohang Daeng Mangkona merupakan suku Bugis dan bangsawan dari kerajaan Gowa, Wajo, Sulawesi Selatan akibat dari perjanjian Bongaya. Dapat dilihat dari nisannya, Daeng Mangkona pasti beragama islam. Karena terdapat tulisan Arabnya, yaitu Allah dan Muhammad. Daeng Mangkona beserta rombongan pada tanggal 21 Januari. Pengikut Daeng Mangkona sekitar 200 orang. Ia termasuk pahlawan khususnya sebagai pendiri, perintis, serta pemberi nama kota Samarinda yang awalnya dari kata "sama" dan "rendah" yang bila digabungkan Samarendah dan karena mengalami pembakuan kata maka berangsur angsur nama  Samarendah menjadi Samarinda. Serta ia merupakan penyebar ajaran Agama Islam di Samarinda.



Ekosugiarto( 2015 : 171)Legenda adalah dongeng yang berhubungan dengan periatiwa sejarah dan kejadian alam, misal terjadinya nama suatu tempat dan bentuk topografi suatu daerah, yaitu bentuk permukaan suatu daerah (berbukit, jurang,dan sebagainya). Namun peristiwa atau kejadian tersebut bercampur dengan unsur fantasi. Hubungan sebuah peristiwa dan peristiwa yang lain dalam sebuah legenda umumnya menunjukan hubungan yang logis. Suatu peristiwa menyebabkan terjadinya peristiwa lain, akan tetapi, tak jarang di tengah-tengah peristiwa yang biasa dan logis itu juga muncul peristiwa yang luar biasa.
Danandjaya (1997:50) mendeskripsikan legenda sebagai cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Selain itu menurut Bascom, (dalam Wikipedia, 2014) legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci.
legenda sebagai cerita rakyat yang dianggap empunya cerita sebagai kejadiaan yang benar-benar terjadi dan berkaitan dengan peristiwa sejarah meskipun dalam kejadiannya tidak dianggap suci.
Brunvand (dalam Danandjaya,1997: 67) menggolongkan legenda
menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Legenda Keagamaan
2. Legenda Alam Gaib
3. Legenda Perseorangan
4. Legenda Setempat
Berikut ini akan dijabarkan mengenai kelompok legenda tersebut.
1. Legenda Keagamaan
Danandjaya (1997:67) menjelaskan adapun kriteria legenda yang dapat dikatakan sebagai legenda keagamaan adalah legenda orang-orang suci, misalnya Walisongo. Memperkuat pendapat Danandjaya, bahwa legenda keagamaan umumnya terjadi pada masa lampau, terlebih kental dengan nilai religius.

2. Legenda Alam Gaib
Menurut Danandjaya (1997:67) legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan dialami oleh seseorang. Fungsi dari legenda ini adalah meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat. Sependapat dengan pendapat Danandjaya, bahwa legenda ini umumnya benar-benar terjadi dan dialami oleh seseorang, meskipun banyak yang tidak mengetahui terjadinya. Fungsinya yaitu meneguhkan takhayul, sehingga banyak orang yang memercayainya.

3. Legenda Perseorangan
Danandjaya (1997:67) mengatakan bahwa legenda ini berkaitan dengan cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu, yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar terjadi. Adapun contoh dari legenda jenis ini adalah legenda tokoh Panji.

4. Legenda Setempat
Menurut Danandjaya (1997:68) legenda ini berkaitan dengan cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat, dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjuang, dan sebagainya. Sejalan dengan pendapat diatas, legenda setempat dapat dikatakan pula bahwa legenda ini menceritakan asal usul suatu tempat, baik yang menyangkut nama, bentuk suatu daerah dan lain sebagainya yang berhubungan dengan tempat tersebut.

Beberapa minggu yang lalu, tepatnya 8 April 2017. Kelas Tradisi Sastra Nusantara dan dosen berkunjung kemakam sesorang yang penting dalam pendirian kota Samarinda. Dari Samarinda kota ke Samarinda Seberang dapat ditempuh sekitar 40 menit. Kita dapat menempuhnya dengan menyebrangi jembatan Mahakam. Terik matahari terus menemani kami sepanjang jalan sampai di tempat tujuan.
Kami mendapat informasi dari juru kunci makam Daeng Mangkona, yang bernama Abdillah. Bahwa Daeng Mangkona merupakan suku Bugis dan bangsawan dari kerajaan Gowa, Wajo, Sulawesi Selatan. Daeng Mangkona hijrah bersama keluarga dan pengikutnya. Hijrah tersebut karena mereka tidak mau tunduk akan pemerintahan kolonial Belanda yang menguasai kerajaan Gowa karena perjanjian Bongaya/Bungaya.
Kerajaan Hindu tertua di Indonesia yaitu kerajaan Kutai. Ditemukan 7 buah prasasti berbentuk yupa, tugu peringatan upacara kurban. Prasasti itu bertuliskan huruf Pallawa, menurut bentuk dan jenisnya berasal dari tahun 400 M. Bahasa Sanskerta tersusun dalam bentuk syair. Dari salah satu yupa diketahui, bahwa raja yang memerintah adalah Mulawarman, anak Acwawarman, cucu kudungga. Kudungga bukan nama Sanskerta, berarti ia adalah seorang kepala suku penduduk asli yang belum sangat terpengaruh kebudayaan india. Acwawarman disebut sebagai Wangcakarta atau pembentuk keluarga. dari keterangan ini nyatalah bahwa sejak Acwawaraman corak kehinduan dari masyarakat dan kerajaan kutai menentukan jalannya proses penghidupan selanjutnya. Tiap yupa didirikan oleh Mulawarman sebagai peringatan, bahwa ia telah memberikan kurban besar besaran  dan hadiah untuk kemakmuran negara dan rakyatnya (suatu kebiasan yang telah kita kenal pula dalam zaman prasejarah, yaitu mendirikan menhir!). Dari upacara yang di lakukan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa, di kutai telah ada pengaruh agama hindu yang nyata. (Soekmono.1992 : 35-36)
Kota Samarinda awalnya hanya terdapat 3 kampung. Pemukiman suku Kutai Puak Melanti yaitu kampung Mangkupalas, Karamumus, Karang Asam. Ketiga kampung ini bergabung dengan kelurahan Ulu Dusun di Kutai Lama di bawah pimpinan Ngabehi Ulu. Sejak abad ke 14 ketiga kampung memperoleh pengaruh yang sangat kuat dari kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, akan tetapi sesudah kekalahan kerajaan Makassar itu tahun 1967 atau sesudah perjanjian Bongaya(1662) pengaruh Makassar berangsur angsur berkurang di Kalimantan Timur.
Pada tahun 1668 orang Bugis dari Sulsel mulai bermukim di Kutai. Pada awal abad 18 mulai berdatangan pendatang orang Bugis Wajo di bawah pimpinan Lamohang Daeng Mangkona, pengikut La Maddukelleng putra Arung Paneki dari daerah Wajo. Daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Lama Ali Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martapura ( Marhum Pamarangan 1730-1732) untuk mohon izin untuk di perbolehkan berdiam di wilayah kerajaan kutai. Raja memberi izin kepada mereka untuk berdiam di kutai, tetapi harus mencari pemukiman di sekitar sungai mahakam, diantara dua daratan rendah.
Dengan syarat membantu raja Kutai tuk mengawasi daerah aliran sungai dan daerah hilir kerajaan kutai, memantau perahu layar penjajah. Ia memilih daerah sekitar Selili, Gunung kali Manis, lebih tepatnya perusahaan kayu. Lalu orang orang wajo menemukan tempat itu dan menamakannya "samarinda" yang terdiri dari dua kata "sama" dan "rendah". (Nur Ars. 1986 : 1-3)
Tidak lama, mereka pindah ke Samarinda Seberang. Mereka menetap disana hingga meninggal dunia dan dimakamkan disana.
Dapat dilihat dari nisannya, Daeng Mangkona pasti beragama islam. Karena terdapat tulisan Arabnya, yaitu Allah dan Muhammad. Nisan Daeng Mangkona dan istri, serta beberapa makam yang ada didekat makamnya, terbuat dari kayu ulin yang setiap bulannya diolesi dengan solar agar tidak dimakan oleh rayap. Sedangkan pengikutnya nisannya terbuat dari batu. Dinisan yang ada dimakam tersebut terdapat kain kuning, ternyata kain tersebut bukan juru kunci yang memasangnya, akan tetapi masyarakat yang berziarah kemakam tersebutlah yang membawa kain kuning tersebut. Diperkirakan sekitar 150 orang pengikut yang dimakamkan disana dan sisanya menyebar di daerah Samarinda dan sekitarnya.



Keturunannya tidak diketahui karena Sejarah terputus, baik dari keluarga maupun dari kerajaan Gowa. Hingga sekarang nama istrinyapun tidak diketahui, apa lagi tahun meninggalnya, belum diketahui rumahnya yang sebenarnya dimana, serta peninggalan- peninggalannya baik berupa keris, pedang ataupun yang lainnya.
Awalnya makam tersebut ditemukan oleh Muhammad Toha yang merupakan juru kunci yang pertama. Suatu hari juru kunci makam ini bertemu dengan seseorang yang bekerja dimuseum Mulawarman yang bernama Djabar, ia bercerita bahwa dulu ketika juru kunci pertama ini membakar hutan untuk pertanian dan berkebun, yang tersisa hanya sebuah nisan. Pak Djabar pun menyarankan agar makam itu difoto dan dikirim kejakarta. Akhirnya setelah beberapa bulan mendapat respon bahwa memang makam ini yang dicari selama ini. Dan dijadikan Cagar budaya Nasional.
Juru kunci yang kedua yaitu Suriyansyah anaknya Muhammad Toha. Setelah Suriyansyah meninggal, maka digantikanlah oleh adiknya yaitu Abdillah yang masih aktif hingga saat ini sebagai juru kunci makam. Biasanya masyarakat banyak datang saat hari jumat, menjelang Rhamaddhan dan lebaran.


                                                 Makam Daeng Mangkona dan istri serta kerabatnya

Namun sangat disayangkan, hanya sedikit informasi yang didapatkan mengenai hubungan Daeng Mangkona dengan kota Samarinda. Hanya beberapa sumber dan dibuku pun hanya memuat sedikit tentang Daeng Mangkona. Hanya segelintir orang saja yang tau dengan Daeng Mangkona. Semua itu karena kurangnya sosialisasi dimasyarakat. Bahkan orang asli Samarinda pun belum tentu mengenal Daeng Mangkona. Saya berharap kedepannya Cagar Budaya Nasional kita ini dikenal oleh masyarakat, tidak hanya orang dewasa saja yang mengetahui legenda ini, namun anak-anak dan remajapun harus mengetahui itu.

Referensi :
Danandjaja. James.2007. Folklor Indonesia. (cetakan ketujuh). Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Nur Ars.1986. Sejarah kota Samarinda. Jakarta Depdikbud.
Soekmono.1992. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta : Kanisius
Eko Sugiarto.2015. Mengenal Sastra Lama-Jenis, Definisi, Ciri Sejarah dan Contoh. Yogyakarta : ANDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar