Taufiq Ismail
Catatan dari Bandung dan Jakarta
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR DAN JAWABAN TERHADAP ITU
Pada 4 September 1974, harian Kompas menyiarkan acara baca puisi di Bandung, penyair-penyair Bandung dan dari luar kotapun ikut serta. Selain pembacaan puisi juga akan diadakan pengadilan puisi yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia Modern, yang ditulis oleh penyair-penyair kita. Dua jam sebelum acara dimulai, penyelenggara Djen Amar dan Sanento Yuliman menjelaskan kepada Taufiq Ismail apa yang dimaksud dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. Pada saat itu Slamet Kirnanto sebagai jaksa, Sanento Yuliman sebagai Hakim ketua dan didampingi Darmanto Jt. Sapardi Djoko Damono yang ditunjuk sebagai pembela, namun ia tidak bisa hadir karena sedang tidak enak badan. Sehingga Taufiq Ismail lah yang ditunjuk sebagai pembela yang menggantikan Sapardi Djoko Damono.
Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya yang berjudul dengan Semangat Zola 76 tahun yang lalu. Pada dua kata pertama : "Saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia akhir akhir ini tidak sehat, tidak jelas, dan brengsek!"
Tuntutan-tuntutannya yaitu sebagai berikut :
1. Para kritikus tidak bisa mengikuti perkembangan Puisi Mutakhir, khususnya HBJ dan MSH harus dipensiunkan.
2. Para editor majalah sastra khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicuti-besarkan.
3. Penyair mapan seperti Subagio, Rendra, Goenawan. Dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan.
4. Majalah Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang terbit selama ini tidak berlaku serta dilarang untuk dibaca.
Ini berdasarkan atas "Kitab Undang-undang Hukum Puisi".
Sutardji memberikan kesaksian dengan semangat dan bahkan ia akan mengadakan acara pembakaran Horison. Abdul Hadi menyatakan bahwa sastra Indonesia buruk, belum sebagus sastra Jawa kuno. Sesudah tanya jawab selesai, hakim mempersilahkan hadirin memberikan kesaksiannya. Verdi Kastam Marta, ia menyarankan setelah acara selesai hakim meminta maaf kepada puisi Indonesia. Hidayat LPD setuju dengan pengadilan macam ini, menyokong teori Saini dan menegaskan bahwa Abdul Hadi adalah penyair epigon (Hadi menganggap hal ini serius dan menyangkalnya). Dami N. Toda mengemukakan gejala epigonisme "universal".
Pembela menolak tuntutan tersebut karena dari mana mendapatkan dana pensiun untuk HBJ dan MSH, yang dalam anggaran negara posnya tidak ada. Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Bunyi keputusannya sebagai berikut:
1. Kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan eksistensinya dengan catatan harus mengikuti kursus kenaikan mutu dalam sekolah kritikus sastra, yang akan segera didirikan.
2. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama tidak merasa malu, dan mereka boleh mengundurkan diri.
3. Para penyair mapan, masih diberi peluang untuk terus berkembang. Begitupun para penyair epigon dan inkarnatif, boleh terus menulis dengan syarat harus masuk kedalam panti asuhan atau rumah perawatan epigon.
4. Majalah sastra Horison tidak dicabut SIC dan SIT-nya, hanya dibelakang nama lama harus diembel-embeli kata "baru".
Demikian keputusan majelis hakim.
Tiga belas hari kemudian, diteater FSUI diadakan suatu majelis dan judul "jawaban atas pengadilan puisi". Diselenggarakan pada 20 September 1974, dengan empat pembicaraan yaitu : H.B Jassin, M.S Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Acara Rawamangun diubah judulnya (jawaban atas pengadilan puisi) menjadi (jawaban marah terhadap Slamet Kirnanto). Ini lebih mengenang keempat pembicara tersebut tidak hadir diaula untuk menyaksikan jalan acara tersebut.
Slamet Kirnanto
SAYA MENDAKWA KEHIDUPAN PUISI INDONESIA AKHIR-AKHIR INI TIDAK SEHAT, TIDAK JELAS DAN BRENGSEK!
(Tuntutan umum pada Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir di Bandung, 8 September 1974)
Slamet Kirnanto merasa sangat aneh dalam negeri sendiri orang tidak menyadari gejala dan kecenderungan kecenderungan yang baru M.S Hutagalung merupakan seorang dosen kesusastraan FSUI dan dikenal sebagai kritikus sastra. Bersama dengan rekan rekannya, mereka pernah memperkenalkan teori kritik sastra yang dikenal metode struktural yang dilakukan pada sebuah seminar bahasa dan kesusastraan pada 1966. Pada 24 November 1973 saat ceramah ia menilai dan mengumumkan penyair terkemuka yang terkenal di Indonesia adalah Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi, dan Rendra.
Bagi Hutagalung yang mengasyikan dari sajak-sajak Subagio adalah gagasan yang dilatarkannya sering mengagetkan. Sepertinya ia hanya sekadar terpikat oleh pilihan kata yang istimewa dari segi-segi atau unsur-unsur yang membangun sajak-sajak " Dan kematian semakin akrab" dimana kekurangannya dalam kekuatan emosional cukup terpenuhi.
Sedangkan HBJ menyatakan pilihannya kepada WS Rendra. Ia menolak keputusan bekas anak didiknya itu. Menurutnya, Rendra berhasil menggambarkan gagasan gagasan yang dalam lika-liku kejiwaan yang sulit diraba dan pikiran-pikiran yang tinggi dengan.kata-kata sederhana dan imaji-imaji yang konkret. Mereka berdua berdebat dan saling mengotot, Slamet Kirnanto mendengar dari rekan kenalan dekat Jassin, katanya HBJ sedang mengumpulkan karya-karya dan informasi tentang W.S Rendra dari periode awal.
Mungkin M.S Hutagalung tergoda oleh tingkat intelektualitas yang dimiliki Subagio yang terbayang dalam sajak-sajaknya. Tanpa menyadari puisi Subagio yang sarat dengan pikiran-pikiran itu merupakan rumus-rumus gelap yang dituangkan dalam lirik dan bait-bait kalimat. HBJ hanya tergoda popularitas Rendra saja dan tidak mampu melihat berkembangnya kemungkinan-kemungkinan yang jauh lebih relevan yang diperlihatkan penyair-penyair.
Abdul Hadi W.M adalah seorang wartawan dan telah menulis belasan artikel tentang Puisi Modern Indonesia. Media sastra yaitu Horison dan Budaya Jaya tidak mampu menjalankan peranannya. Periode awal Horison menunjukan suatu janji memberikan prasarana terbaik untuk tumbuhnya karya-karya sastra yang kreatif dan sehat, tiba-tiba terjerumus menjadi majalah keluarga.
Masalah-masalah yang ditampilkan disini adalah gambaran kasar dari sastra kita. Tanggapan yang dikemukakan hanyalah garis besarnya saja, menunjukan ketajaman masalah dan gejala yang tidak sehat dan imaji-imaji orang tentang sastra.
Akhirnya menilik dari sifat jalannya sidang pengadilan yang sekarang ini ada pendirian yang cukup diametral. Perhatian atas kepincangan kritikus kita, penyair mapan beserta epigon-epigonnya dan inkarnasinya, media kesusastraan yang tidak mampu menjalankan perannya lagi dan lain-lain.
H.B Jassin
Beberapa catatan bertalian dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR
Jassin membaca laporan "Pengadilan Puisi Kontemporer" dalam harian Kompas 10 September 1974. Kesan pertama kali yaitu bahwa laporan tersebut mengandung kelakar yang sehat dan agaknya demikian yang dimaksudkan oleh para pengambil inisiatif untuk mengadakan pengadilan. Pada pengadilan itu malah timbul ketidakpuasan mengenai pertemuan itu.
Si terdakwa ialah Puisi Indonesia Mutakhir yang tentu didukung oleh Penyair Indonesia Mutakhir.
Di sini timbul pertanyaan. Semua para pengadil adalah penyair Indonesia Mutakhir.Apakah mereka mengadili diri sendiri? Ini tentu bisa saja, kalau para pengadil tidak merasa turut bersalah dan sekedar hendak mengadili mereka penulis puisi yang bersalah.Tapi anehnya ,Sapardi Djoko Damono yang mestinya duduk di kursi terdakwa, turut pula menjadi pembela. Demikian pula Abdul Hadi yang disebut sebaut sebagai terdakwa, berfungsi pula sebagai saksi, sekaligus sebagai saksi a decharge. Malahan pembela Taufiq ismail seharusnya duduk dikursi terdakwa, karena ia turut bersalah duduk dalam redaksi Horison yang dituntut supaya dicabut izin terbitnya. Lebih aneh lagi saksi Sides Sudyarto yang kesaksiannya mengatakan bahwa sejak Chairil Anwar tidak ada lagi Puisi Indonesia.
Apabila seorang kritikus dianggap tidak becus, lebih simpatiklah rasanya bila tampil kritikus lain untuk memperlihatkan kelihaiannya, sehingga dengan sendirinya kritikus yang tidak becus itu bergeser dari kedudukannya. Demikian pula para penyair, bukanlah mereka seharusnya saling menjelekan, tapi hendaklah berusaha memberikan hasil yang baik menurut bakatnya.
Goenawan menyatakan dengan tandas sikapnya yang individualistis sebagai penyair sebagai berikut :
Salah satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah kebebasan dari sikap kolektif yang mengikat diri dan bahaya orang terlalu memperhatikan rumus-rumus umum yang dikenakan diatas kesadaran keseorangannya ialah terbentuknya diri dalam lingkungan kolektivisme, sehingga hasilnya nanti tidak akan lebih dari hasil tukang proyeksi, suara umum, dan penyodor kemutlakan ajaran.
Dengan semua ini ia hanya hendak mengatakan bahwa para penyair Mutakhir dalam penciptaannya cukup serius dalam pencariannya dan perlu diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya lebih lanjut. Saat itu H.B Jassin berumur 55 tahun dan seharusnya sudah pensiun, tapi karena ia dikategorikan dosen pengajar, maka ia pensiun di umur 65 tahun. Ia tidak ingin berhenti sebagai karyawan dilapangan kesusastraan, sekalipun ia sdh pensiun sebagai pegawai. Menurutnya lapangan sastra terlalu menarik untuk ditinggalkan.
M.S Hutagalung
PUISI KITA DEWASA INI
Jawaban saya terhadap Slamet Kirnanto
MSH menghadapi kritik kritik yang ditujukan secara positif, sebab ia kira sudah wajar orang yang suka mengkritik mau juga dikritik.
Ketika ia menerima tawaran Boen S. Oemarjati untuk memberi pendapat mengenai perkembangan sastra Indonesia. Sebagai orang yang tidak terlibat dalam sastra Indonesia, karena beberapa lama diluar negeri. Bahkan ia kehausannya akan penelitian sastra menyebabkan ia mengetahui bahwa pendapat Kirnanto tentang epigonisme Goenawan dan kawan-kawannya terhadap Barat dan keaslian Sutardji sebenarnya adalah sangat ngawur dan isapan jempol.
Hutagalung memiliki prinsip, kedalaman isi dan kesanggupan struktur sajak menyampaikan isi itu adalah tanda-tanda puisi yang memuaskan. Ia setuju pada pendapat Cassirer "seni adalah kesungguhan dan kedewasaan seni bukanlah permainan, itulah yang membedakannya dari permainan anak-anak.
Untuk mengulangi hal-hal yang telah ia sampaikan, ia mengambil beberapa kesimpulan :
1. Pandanga-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-padangan yang tidak sehat., bau apak yang cukup berbahaya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu.
2. Saya berpendapat bahwa pernyataan tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3. Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnantolah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat dengan Kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu.
Goenawan Mohamad
Komentar Berhubung dengan
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR
Tentang "Tuntutan" Slamet Kirnanto
Ia menyimpulkan semua ini berdasarkan ikhtisar dalam koran, dari mana "tuntutan" Slamet Kirnanto tersebar kemana-mana. Mutunya sebagai pengusut perkembangan puisi kira-kira sama dengan mutunya sebagai petinju.
Tentang "Hakim" Dan Isi Pembicaraan
Ia mendapat kesan dari isi pembicaraan dalam "pengadilan" itu bagaimana sibuknya para penyair itu terus-menerus dengan diri mereka sendiri. Seolah-olah keadaan merekalah yang diperlakukan paling tidak adil di Indonesia kini. Oleh seorang kritikus dan dua buah majalah!
Tentang Kehidupan Puisi
Tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga, hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis dari pada ia memaksa diri kasih unjuk tenaganya tapi cuma menghasilkan ampas. Yang paling repot mempermasalahkan kemandengan biasanya justru mereka yang takut kemandengan diri sendiri.
Sapardi Djoko Damono
CATATAN ATAS PENGADILAN PUISI DAN TUNTUTAN SLAMET KIRNANTO
Barangkali bahkan puisi akan mampu membela dirinya sendiri, sebab ia adalah bentuk sastra yang paling sulit dilarang, ditekan atau dihambat perkembangannya. Apalagi kalau ia sudah menjadi beraneka ragam, seperti puisi kita dewasa ini.
Kalau Slamet Kirnanto menertawakan dua orang kritikus, dengan alasan masing-masing, menyatakan pilihan mereka, maka seharusnya Slamet juga menertawakan diri sendiri sebab ia melakukan hal serupa.
Kesimpulan Sapardi yaitu tuntutan Slamet Kirnanto itu ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal baru dan tidak kocak. Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena keberaniannya tampil di Bandung tempo hari, namun saya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu "serius" untuk pertemuan serupa itu.
Darmanto Jt
TENTANG PENGADILAN PUISI
Apa salahnya kita minta pengadilan untuk puisi. Pertama-tama untuk mensahkan hak hidup puisi Indonesia. Ini sangat penting, sebab dengan demikian penyair-penyair sudah tidak lagi dikejar-kejar pertanyaan tuntutan : Relevankah kehadiran puisi di Indonesia? Yang kedua ini penting,sebab dengan demikian penyair-penyair akan mengerti mana yang boleh ditulis atau dipuisikan dan mana yang tidak. Yaitu untuk mencegah terjadinya kerusuhan-kerusuhan didalam masyarakat, akibat adanya hal-hal yang tak perlu dipuisikan, sebab efeknya negatif terhadap masyarakat. Yang ketiga, pengadilan ini berhak menjatuhkan hukuman pada penyair-penyair yang suka mengacau ; tentu saja hukuman mental, sebab puisi terkena hukuman ini.
Dengan demikian diperlukan dewan Pertimbangan Kenaikan Pangkat Penyair. Untuk kenaikan pangkat yang perlu dipertimbangkan yaitu prestasi.
Dengan demikian kelas-kelas dalam penyairan bisa ditertibkan, honorarium bisa ditertibkan, dan sanksi-sanksi kepangkatan bisa ditertibkan.